- Sihir Dari Cikeas, Catatan Tempo tentang SBY
- Oleh Sapri Pamulu - 20 Juli 2009 - Dibaca 1136 Kali -
-
Jika anda membaca postingan sebelumnya Kenapa SBY Menang, Mega Merakyat Tapi Kok Meradang? maka terdapat keselarasan sudut pandang dari liputan Tempo yang terbit hari ini, Sihir dari Cikeas, dan Tebar Duit Jaring Suara. Kunci kemenangan SBY memang terletak pada pragmatisme pemilih akibat program-program populis, dan pencitraan yang jeli. Tentang pencitraan ini juga telah diendus LP3ES melalui hasil exit poll yang juga juga ditayangkan gambarnya ketika itu.
Dalam postingan lalu penulis memaparkan teori-teori prilaku yang dipakai untuk menjelaskan pilihan sikap pemilih yang tersihir dengan SBY, dengan mengkontraksikan antara pemilih pragmatis dan ideologis. Disimpulkan bahwa ikon-ikon idelogis seperti pro-rakyat alias merakyat tampaknya menjadi pertimbangan tersier, sedangkan pertimbangan primer tetaplah sikap yang pragmatis serta pertimbangan rasional sebagai sekunder. Pemilih tidak ingin berisiko dengan tawaran perubahan, dengan manfaat (terutama ekonomi) yang dinikmati sekarang, sehingga ideologi ekonomi kerakyatan dan kemandirian kurang memndapat sambutan pemilih, dan juga rasionalitas atas riwayat (jejak rekam) juga menjadi penentu. Diungkap juga beberapa point diskusi dengan Prayitno Ramelan, Guest Blogger Kompasiana yang menekankan faktor figur dan pencitraan ybs sebagai kunci sukses kemenangan SBY (faktor personal). Ketika itu saya berasumsi bahwa bahwa dalam sejarah pemilu pasca reformasi, rupanya pemilih memang tidak lagi terikat dengan hal-hal ideologis atau identitas idealis lainnya, tetapi lebih pragmatis saja karena benefit yang diperoleh pemilih selama ini berkat program-program incumbent. Pak Pray dalam sebagian respon baliknya mengatakan bahwa Itulah sebuah realita didalam sebuah strategi pemenangan baik pileg maupun pilpres. Rakyat kalangan bawah kini semakin realistis, saya juga berpendapat sama dengan anda itu, kebutuhan dan tekanan ekonomi menyebabkan pemilih kalangan bawah memang tidak lagi terikat dengan hal-hal ideologis atau identitas idealis lainnya, pragmatisme jauh lebih mengemuka. …………..Saya sependapat bahwa kedepan nanti pragmatisme yang akan mendominasi dunia politik dibandingkan dengan loyalitas terhadap ideologi. Hal ini kini juga sudah terlihat masa kini…zero loyalitas beberapa elit dari lawan politik SBY.
Kembali ke ulasan Tempo sebagai catatan dalam postingan ini, Pertama Tempo juga mengutip LP3ES sebagai rujukan yang sama. Fajar Nursahid, Kepala Divisi Penelitian LP3ES, menilai keunggulan pencitraan merupakan faktor utama penentu kemenangan SBY dengan pembentukan persepsi yang sukses bahwa dialah kandidat yang paling memenuhi harapan publik. Hasil exit poll lembaga ini menunjukkan 27,5 persen pemilih beralasan sosok SBY ”berwibawa dan bijaksana”.
Persepsi positif atas SBY itu ditunjang opini publik bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini lebih baik. Menurut Fajar terdapat korelasi langsung antara kepuasan publik atas kondisi ekonomi dan kecenderungan responden memilih SBY.
Kedua, Catatan yang unik juga terungkap di sini bahwa sebagaimana diakui oleh Fajar, jika pemilih rasional memberikan suara berdasarkan keberhasilan program pemerintah, seharusnya Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mendapat poin tidak sedikit. Tetapi dalam kenyataannya JK gagal mengkapitalisasi modal politik ini.
Kampanye Kalla yang gencar mengumumkan jasanya sebagai penggerak kebijakan Bantuan Langsung Tunai, pembagian kompor dan tabung gas gratis, serta penyediaan listrik dinilai terlambat. Survei menunjukkan 51,7 persen pemilih sudah menentukan sikap sebelum kampanye dimulai, sedangkan jumlah pemilih rasional yang menentukan sikap setelah mendengar kampanye paling banyak 20 persen.
Selanjutnya Kalla juga dirugikan oleh citra di masyarakat bahwa pemerintah itu identik dengan presiden, bukan wakilnya., sehingga JK tidak mendapat bagian suara dari kepuasan publik atas baiknya ekonomi. Untuk catatan JK ini juga bisa dibaca pada postingan penulis tentang Pertemuan JK yang Tak Terekspos MediaCatatan ketiga dari Tempo juga senada tentang resiko pilihan, dengan mengutip Pengamat sosial Universitas Airlangga, Daniel Sparringa, yang menegaskan bahwa Masyarakat agak phobia terhadap diskontinuitas sehingga hasil pemilihan presiden menunjukkan bahwa publik tidak suka pilihan baru. Alasannya, dalam masa reformasi 10 tahun terakhir yang penuh ide dan eksperimen politik serta ekonomi baru, menimbulkan trauma. Masyarakat tak mudah percaya kepada tawaran jalan pintas, dan memulai sesuatu yang baru berongkos pada hilangnya waktu
Jika catatan-catatan diatas memang benar adanya, maka para aktifis partai di masa mendatang tetap perlu untuk menelisik prilaku pemilih berdasarkan konteks kekinian untuk dapat memproyeksikan besaran dukungan yang dapat diperoleh dalam pertarungan mendatang, dan jika dibentang horison waktu maka juga diperlukan investasi sosial yang taat asas dari waktu ke waktu.
Adakah catatan lainnya yang terlupakan?, silahkan berkomentar, monggo! Salam Kompasiana, Sapri Pamulu
Arsip link di Blog Kompas, KOMPASIANA
Tags: Cikeas, citra, JK, pilpres, pragmatis, sapri pamulu, sby, Sihir
Share on Twitter
-
syamsul khomar,
- — 20 Juli 2009 jam 9:02 pm
argument2 seperti diatas ada benarnya, tetapi menurut saya pribadi kemenangan SBY adalah karena faktor Citra SBY pemimpin yang mewakili Budaya timur yang masih sangat menjunjung tinggi tatakrama dan sopan santun. Ini kelebihan SBY dimata masyarakat indonesia. Masyarakat indonesia sebagain besar masih generasi Non-visual. Artinya mereka lebih mudah mengerti dan menangkap arti sebuah ucapan, kalimat, kata-kata daripada arti sebuah gambar. Sehingga perubahan dan pengaruh lebih mudah dicerna dengan perkataan yang sopan, santun, berwibawa, ramah dan beretika dibanding dengan fakta, visi dan misi yang ditawarkan.
faktor Jawa dan Non Jawa, masih merupakan faktor dominan yang mendasari pemilih, sehingga kedepannya bagi para aktivis perlu mempertimbangkan faktor tersebut. -
Abuga,
- — 20 Juli 2009 jam 9:36 pm
faktor kemenangan terbesar sby karena dia incumbent. seorang incumbent memiliki peluang segalanya terutam propgram yang populis. sekarang pertanyaannya adalah 5 th ke depan masihkah ada program populis itu? kalo ada berarti siap2 utang Ln makin banyak he…….. he……
gitu aja kok repot!
-
Bocah nDeso,
- — 20 Juli 2009 jam 10:55 pm
Anda benar dalam sebagian, karena menurut saya pemilih Indonesia itu rumit, namun juga mudah. Rumit jika didekati dengan ilmu-ilmu modern, namun mudah jika didekati dengan ilmu budaya bangsa Timur khususnya budaya khas Jawa.
Budaya itu antara lain, tak suka dengan kritik (lebih memihak kepada yg dikritik jika yg mengkritik terlalu kers, tak perduli subtansi kritiknya) suka dg panampakan penampilannya,suka dengan petuah-petuah normatif, Melankolis (simpati dan empati dg cerita yg memilukan, walau kadang tidak meneliti maknanya) jika sudah percaya maka omongannya akan dianggap benar walau ada ambiguitas dan ambivalensi disitu, dan masih panjang lagi yg khas budaya Jawa.
Singkatnya, mayoritas pemilih Indonesia memilih bredasarkan pertimbangan ’selera’ dirinya. Selera itu berdasarkan cara pikir yg sangat khas budaya Jawa (walau dia belum tentu orang jawa). Selera yang disukainya itu terbentuk dari persepsi yang ditangkapnya (peran media). Jika itu sudah tertanam di benaknya, maka pilihannya tak akan mudah berubah, mereka akan tetap loyal dengan ’selera’ yg telah dipilihnya itu, tak akan goyah oleh tawaran yg menggiurkan seperti apapun.
Dalam hal ini pak SBY telah lebih dulu berhasil menjadi ’selera’ mayoritas pemilih(faktor dianiaya Megawati saat Pilpres 2004 yg lalu) juga karena lebih dahulu dan lebih lama jangka waktunya dalam menanamkan persepsi itu (faktor Incumbent 2004-2009) serta berhasil mempertahankannya (faktor incumbent & keberpihakan media terutama media televisi).
Gabungan semua itulah yg menjadikan pak SBY tidak tergoyahkan, walau dibeberapa penampilan debat, secara jujur tak secemerlang penampilannya di kampanye 2004 dahulu. Sebenarnya politik aliran, ideologi, dsb, masih tetap relevan di benak pemilih, namun semua itu terkalahkan oleh ’selera’ yg tadi itu.
Ada satu contoh yg menarik, rupanya Monolog Butet di acara deklarasi Damainya KPU itu malah kontra produktif. Teman2 arisan istri saya yg tadinya sedikit goyah malahan kembali tak goyah lagi karena melihat ‘kesabaran’ pak SBY dikritik Butet itu.
Begitulah jika menurut saya.
-
luca,
- — 21 Juli 2009 jam 12:03 am
Mantap, acungan jempol utk anda.
-
olivia,
- — 21 Juli 2009 jam 2:40 am
Para cerdik pandai, intelektual, politisi, parpol, capres…. mereka sudah tahu, sadar, mengerti bahwa kondisi masyarakat sangat…sangat….sangat…. “PRAGMATIS”…..
Tapi kenapa ya?….justru malah pragmatisme masyarakat dieksploitasi habis….
Nggak ada sense untuk membuat saudara-saudara kita menjadi lebih pintar…kritis…..
Kenapa kepandaian, kepintaran mereka justru hanya untuk membuat strategi “PEMBODOHAN”…masyarakat & konstituennya sendiri…..Atas nama demokrasi, kewajiban moral sebagai manusiapun diabaikan…hanya untuk berkuasa….
Betul2 apes rakyat…..banyak dari mereka….begitu bangga jagoannya menang tanpa mereka pernah tahu dan sadar……nun jauh disana ada yg tertawa terbahak-bahak, tersenyum sinis….
Rakyat tdak butuh ekonomi kerakyatan….rakyat tidak butuh mandiri….tak perlu berbusa-busa memotivasi rakyatnya untuk menjadi bangsa yg besar……cukup hanya jualan CITRA mereka dapat menang dengan mudah…..Dan rakyatpun kembali kehidupan seperti 5 tahun yang lalu…..seperti biasa, susah cari kerja….antri BLT…dll..dll….
Dan perlu diingat…….5 tahun kedepan sudah ada warning….atas nama “STABILITAS NEGARA”……. rakyat harus santun, menerima apa adanya, tidak boleh protes berlebihan, tidak boleh kritis berlebihan….. atau siap-siap dicap sebagai temennya DRAKULA ……
-
Rudy,
- — 21 Juli 2009 jam 5:50 am
Sebenarnya semua capres adalah tukang sihir. Sihir artinya pesona. Jadi sihrun, sihir yang berasal dari SBY lah justru yang telah sukses menyihir/mempesona rakyat. Mengalahkan sihir sihir dari lawan politiknya. Padahal sihir SBY itu masih sihir kecil, pesona yang dikemas dalam BLT, kemampuan orasi dan kesan santun, dsb. Belum sihrun mubin. Karena nanti sihrum mubin/pesona besar yang benar lah yang akan mengalahkan sihir kecil itu.
-
Ghalil,
- — 21 Juli 2009 jam 9:09 am
Perilaku pemilih di Indonesia juga bisa dilihat pada selera lagu2nya, selera siaran TV yang paling disukai. Siaran yang berkwalitas belum tentu ditonton banyak orang, sedang siaran sinetron melankolis, atau infotainment gosip2 sangat ramai ditonton. Apakah pak Sapri melihat hal ini ada hubungannya dengan pilpres?
-
M.Yusuf,
- — 21 Juli 2009 jam 4:47 pm
Saya sepakat dengan Saudara Ghalil, masyarakat lebih banyak nonton sinetron……, selain itu dengan penayangan exit pool salah satu stasiun TV sebelum selesai pencontrengan….dapat mempengaruhi masyarakat yang tidak mau pusing dan juga mempengaruhi individu yang mau menonjolkan diri bahwa dukunganku sebenarnya adalah ……(atau yang dikenal pahlawan kesiangan) untuk menetapkan pilihannya seketika itu…..atau apa ini disebut individu yang terkena sihir juga ya….(sihir gelombang elektronik)……
-
Public Blog Kompasiana» Blog Archive » Keluarga, Mantra Sihir Dari Cikeas,
- — 26 Juli 2009 jam 4:29 pm
[...] tulisan sebelumnya Sihir Dari Cikeas, Catatan Tempo tentang SBY (20 Juli), diulas faktor prilaku pemilih yang pragmatis sebagai salah satu yang menentukan dan, [...]
No comments:
Post a Comment