- Kenapa SBY Menang, Mega Merakyat Tapi Kok Meradang?
- Oleh Sapri Pamulu - 17 Juli 2009 - Dibaca xyz Kali -
-
Portal okezone memberitakan kemenangan SBY-Boediono dengan mengutip Sudar D Atmanto, Direktur LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) yang menyatakan bahwa terpilihnya SBY disebabkan karena dua faktor. “Pertama, rakyat memilih karena SBY dinilai memiliki pengalaman dan kedua, faktor pencitraan kewibawaan SBY.
Sebenarnya apa saja sih faktor-faktor yang menjadi alasan utama dalam memilih pasangan capres/cawapres dalam pilpres minggu lalu? Dalam rilis hasil Exit Pool LP3ES yang diselenggarakan dengan bekerjasama RCTI itu, disebutkan bahwa terdapat setidaknya terdapat 4 (empat) alasan sebagaimana cuplikan data sebagai berikut:
Jika membaca secara berurut alasan-alasan ini berdasarkan nominasi pemilih maka faktor pengalaman menduduki urutan pertama (44%), menyusul faktor wibawa/bijak kedua (43%), lalu ketiga faktor merakyat (40%) dan terakhir faktor kejujuran (28%). Sedangkan jika disimak berdasarkan pasangan, maka SBY-Boediono berhasil menggaet perhatian pemilih dalam hal kedua faktor teratas, sebagaimana dikutip pada awal tulisan. Yang mengejutkan karena pasangan ini juga menjadi juru kunci dalam faktor merakyat, dibandingkan misalnya dengan Mega-Pro. Tentu hasil exit pool ini sepertinya unik, karena dalam kenyataannya justru SBY yang lebih disenangi rakyatDalam exit pool lainnya, LSI (Lembaga Survei indonesia) justru menyimpulkan bahwa pertimbangan rasional pemilih yang paling menentukan pilihan, terutama dalam menjelaskan persaingan antara SBY dan Mega . Oleh LSI terindentifikasi alasan-alasan yang mengemuka yang menjadi pertimbangan pemilih adalah program-program yang meyakinkan (38,6%) dan pro-rakyat (35,6%). Alasan rasional lainnya bahwa SBY dievaluasi berdasarkan kondisi ekonomi yang lebih baik, dan kinerja yang memuaskan sebagai presiden.
Kembali ke inti tulisan, barangkali teori-teori prilaku pemilih dapat menjelaskan pilihan di atas. Jika diperhatikan maka ikon-ikon idelogis seperti pro-rakyat alias merakyat tampaknya menjadi pertimbangan tersier, sedangkan pertimbangan primer tetaplah sikap yang pragmatis serta pertimbangan rasional sebagai sekunder. Pemilih tidak ingin berisiko dengan tawaran perubahan, dengan manfaat (terutama ekonomi) yang dinikmati sekarang, sehingga ideologi ekonomi kerakyatan dan kemandirian kurang memndapat sambutan pemilih, dan juga rasionalitas atas riwayat (jejak rekam) juga menjadi penentu. Dalam diskusi komentar pada 2 tulisan bapak Prayitno Ramelan, terlihat penekanan ke figur dan pencitraan ybs sebagai kunci sukses kemenangan SBY (faktor personal) dan sikap pragmatis pemilih yang terendus oleh koalisi pemenang. Ketika itu saya berasumsi bahwa bahwa dalam sejarah pemilu pasca reformasi, rupanya pemilih memang tidak lagi terikat dengan hal-hal ideologis atau identitas idealis lainnya, tetapi lebih pragmatis saja karena benefit yang diperoleh pemilih selama ini berkat program-program incumbent. Pak Pray dalam sebagian responnya mengatakan bahwa Itulah sebuah realita didalam sebuah strategi pemenangan baik pileg maupun pilpres. Rakyat kalangan bawah kini semakin realistis, saya juga berpendapat sama dengan anda itu, kebutuhan dan tekanan ekonomi menyebabkan pemilih kalangan bawah memang tidak lagi terikat dengan hal-hal ideologis atau identitas idealis lainnya, pragmatisme jauh lebih mengemuka. …………..Saya sependapat bahwa kedepan nanti pragmatisme yang akan mendominasi dunia politik dibandingkan dengan loyalitas terhadap ideologi. Hal ini kini juga sudah terlihat masa kini…zero loyalitas beberapa elit dari lawan politik SBY.
Bagaimanapun juga sikap pragmatis ini tentu saja ada plus dan minusnya, tapi tidak akan diulas lanjut di sini, tapi saya menyerahkannya ke anda semua untuk memberi tanggapan. Dalam kamus ensiklopedia Encarta pragmatisme ini diartikan sebagai way of thinking about results atau a straightforward practical way of thinking about things or dealing with problems, concerned with results rather than with theories and principles. Definisi ini tentu saja akan terbalik jika dipadankan dengan idealist sebagai impractical person: a perfectionist who rejects practical considerations atau somebody with high ideals: somebody who aspires to or abides by high standards or principle. Pragmatisme semacam kerangka berpikir praktis, sebalinya idealis sebagai yang tidak praktis.
Nah bagaimana menurut anda? Kapan atau dalam konteks apa kita perlu bersikap hitam putih, pragmatis atau idealis? Perlukah bersikap berwarna? Jangan-jangan apa yang diungkapkan dalam email Mallarangeng yang bocor itu menjadi memang benar apa adanya? Wallahu wa’lam bisshawab
Salam Kompasiana, Sapri
Tulisan ini juga dapat di baca di Kompasiana
Tags: alasan, faktor, idealis, ideologis, mega, Pilihan, pragmatisme, sby
Share on Twitter
Thursday, July 16, 2009
Kenapa SBY Menang, Mega Merakyat Tapi Kok Meradang?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment